Archive for June, 2010


Aku dan Arin adalah sepasang sahabat. Kami bersahabat sejak masih duduk di bangku sekolah dasar. Aku sangat kagum pada sosok Arin. Dia bukan cuma persahabatan yang baik, tapi juga pintar. Dia selalu membantu jika aku kesusahan mengatasi soal-soal pelajaran.

Suatu hari, Arin terlihat sangat pucat. Dia menggigil kedinginan. Aku sudah berusaha menanyainya, tapi tetap saja Arin tidak mau mengaku.

“Aku nggak pa-pa kok, Din. Percaya deh! Mungkin cuma masuk angin!” kata Arin meyakinkanku.

“Mending kamu ke UKS saja deh!! Muka kamu tuh pucat banget. Kalo ternyata bukan masuk angin gimana? Ntar malah bikin repot orang tua kamu!”

Akhirnya Arin menuruti nasihatku. Di UKS, Arin menolak diberi obat. Katanya, dia alergi sama obat yang nggak pernah dikonsumsi. Alhasil, Arin hanya diberi minyak kayu putih dan petugas UKS menyuruhnya tiduran. Aku segera menelepon Pak Badri, sopir Arin. Beberapa menit kemudian, Pak Badri datang.

“Makasih ya, Non, sudah jagain Non Arin,” kata Pak Badri ramah. “Iya, sama-sama, Pak. Tolong langsung anterin Arin ke rumah ya! Trus, langsung suruh dia minum obat. Oia, jangan lupa suruh dia makan dulu!” “Aduh, Non Dina nih benar-benar perhatian ya sama Non Arin. Nyonya saja kalah lho, Non!”

“Ah, Pak Badri bisa saja! Ini kan sudah kewajiban Dina sebagai teman Arin. Ya sudahlah, Pak, ati-ati ya di jalan!”

“Mari, Non!” Bel pulang sekolah berbunyi. Aku segera mencari tebengan pulang. Maklum, biasanya kan aku bareng Arin karena rumah kami searah. Untunglah ada Edo yang baik hati mengantarkan aku pulang sampai rumah. Tapi dengan syarat, aku mengganti uang bensin. Dasar perhitungan! Dalam hati aku bersorak riang karena apa yang menjadi impianku terkabul. Aku pulang bareng Edo, gebetanku.

“Arin tadi kenapa, Din?” aku langsung terbangun dari lamunanku. Nggak tahu tuh! Tadi sih katanya cuma masuk angin, tapi kok sampai pucat gitu !
“Oh, kirain dia kenapa gitu…”
“Kenapa apanya?”
“Ha?! Oh…nggak….nggak kenapa-kenapa…. Eh, Din sudah nyampe nih!!”
“Tenkyu ya, Do! Uang bensinnya besok saja di sekolah! Aku lagi nggak bawa duit nih!”
“Beres! Ya sudah, aku pulang dulu ya, Din!”
“Ati-ati ya, Do! Daaahhh!!!”

Siang ini terasa panas sekali. Aku merebahkan diri di kasur tercintaku. Lumayan kalo bisa tidur. Soalnya, nanti sore aku ada les. Tak lama kemudian ponselku berdering. “Sialan!! Siapa sih siang-siang gini nelepon? Duh, mataku tinggal 5 watt lagi!” umpatku dalam hati.

“Halo Din…. Lagi ngapain nih? Ntar les kan? Aku jemput ya?” suara Edo terdengar begitu nyaring. “Oh kamu, Do! Ganggu orang tidur saja! Iya, aku les. Kenapa? Mau nebengin aku lagi?” ujarku setengah sadar.
“Tahu saja! Sekalian ambil duit bensin gitu lho! He he.”
“Dasar perhitungan!! Kamu jemput aku jam berapa?” kataku sambil menahan rasa ge-er ditambah ngantuk.
“Gimana kalo jam 3-an?”
“Ya terserah kamu deh!!”
“Ya sudah! Wait for me ya, Din! Met tidur…” suara Edo terdengar sangat manja. Rasa kantuk yang sedari tadi melandaku langsung hilang begitu saja. Aku masih terngiang-ngiang suara Edo. Ahhh….indahnya dunia! He he he… Aku pun segera pergi mandi meskipun tahu sekarang masih pukul 13.45. Tapi, nggak pa-pa, demi Edo….

Seusai mandi aku mengecek ponselku, “1 message received.” Aku membukanya. Ternyata dari Arin. “Din, aq ijinin g’ msuk les y! Aq mau ke dokter. Tenkyu, Din.” Singkat, padat, dan jelas.
“He-eh, ntar aq ijinin. Tp ntar jgn lupa kasih kbr ya! Oia, aq td pulang nebeng Edo lho! Whuuaa, senangnya! Ntr aq les jg dijemput ma dia! Wish me luck ya, Rin! Hehe… =)” Setelah membalas SMS Arin, aku segera berganti pakaian. “Arin sakit apa ya?” batinku.

“Dinaaa!” suara Edo terdengar sangat nyaring dari luar.
“Iya bentar. Aku masih ganti baju!” “Waahh, ikut dong!!! He he….”
“Kurang ajar!!” Sepuluh menit kemudian aku selesai berganti pakaian. Aku segera menghampiri Edo di teras. “Udah siap? Kita berangkat sekarang?”
“Nggak… besok saja! Ya iyalah sekarang! Aneh….”
“Tapi ganteng kan?? He he he!” Aku berusaha menyimpan raut muka yang aku tahu pasti sekarang sudah merah kayak tomat.
“Sudah ahh!! Nggak penting banget!” jawabku sebisa mungkin terlihat biasa.
“Nih helmnya! Pegangan ya!”
“Iih! Maunya!”
Di jalan aku menceritakan SMS Arin tadi siang.
“Euumm, gimana kalo ntar pulang les kita mampir ke rumah Arin dulu?”
“Ayo! Tapi gak pakai nambah duit bensin ya!”
“Beres!”

Sesampai di tempat les, aku menonaktifkan ponsel. Maklum, peraturan di tempat lesku ini sangat ketat. Daripada terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, mending aku matiin dulu ponselku.

Dua jam berlalu….
“Teeeettt!!!” bel akhir pelajaran berbunyi. Aku bergegas membereskan bukuku dan langsung menghampiri Edo di kelas IPS.
“Rez, Edo mana?” tanyaku pada Reza alias Echa, salah seorang teman sekelas
“Edo? Tuh, lagi merenung. Kayaknya dia habis dapat berita spektakuler gitu!” jawab Reza dengan gaya khasnya, melambai alias kayak banci.
“Hush! Ngaco! Emang berita apa?”
“Yeee…. Mana eike tahu!! Bukan urusan eike! Dia kan bukan cowok eh cewek eike! Salah sendiri kenapa selama ini Aa’ Edo mesti ngacangin Echa! Echa kan jadi sebel!” jawab Reza sekenanya. Dasar banci….batinku.
“Do, kamu kenapa? Ada masalah? Kok kayaknya bad mood gitu?” Edo diam.
“Do, kamu kenapa sih? Aneh banget! Perasaan tadi kamu ceria banget deh, trus tiba-tiba jadi diem kayak gini. Emang kenapa sih, Do? Cerita dong! Sapa tau aku bisa bantu kamu!” ujarku.
“Mending, kamu baca saja sendiri,” kata Edo sambil menyerahkan ponselnya kepadaku. “Hah?! Nggak mungkin!! Ini pasti bohong!!! Aku tau kalian berdua pasti ngerjain aku! Ini nggak mungkin kan, Do?!!” aku lepas kontrol. Tak terasa air mata mulai mengalir dari mataku.
“Sumpah, Din!! Aku nggak bo’ong! Tadinya sih aku mengira itu cuma lelucon Pak Badri! Kamu tahu sendiri kan kalo Pak Badri doyan banget ngerjain orang? Tapi rasanya nggak mungkin kalo dia bikin lelucon sampai kelewatan kayak gini! Apalagi sampai ngorbanin majikannya sendiri!”
“Tapi nggak mungkin, Do!!! Nggak mungkin,” aku semakin tersedu-sedu.
Edo berusaha menenangkanku. “Kalo kamu masih nggak percaya, mending kita sekarang pergi ke rumah Arin. Dari situ kita bakal tahu berita ini benar atau nggak!”

Di jalan aku benar-benar tidak tenang. Apa mungkin perasaanku benar? Bahwa aku akan kehilangan, ahh… nggak mungkin! Perasaanku berontak. Antara percaya atau tidak dengan berita itu. Sesuatu yang aku takutkan benar-benar terjadi. Di teras rumah Arin banyak sekali karangan bunga. Para tetangga datang sambil mengucapkan rasa belasungkawa. Aku benar-benar kehilangan sahabat yang aku cintai.

“Ariiiiiinnnnnn,” aku tak kuasa menahan tangis.
“Tenang, Din. Tenang…. Ini sudah takdir. Sabar Din,” Edo terus menenangkanku.
“Tapi nggak mungkin, Do! Aku masih nggak percaya!” Tiba-tiba suara yang sudah sangat aku kenal memanggilku.
“Dina, Dina.” Aku menoleh. Dan, buukkk!!! Bantal empuk menghampiri mukaku dengan mulus. “Heh! Bangun! Jam berapa nih, Non? Katanya mau berangkat bareng? Ini kok malah enak-enakkan tidur!!! Wake up!!! Wake up!!!” suara Arin membangunkanku.
“Ya ampun, Arin! Bukannya kamu sudah, whuuaaa… Ariiiinnnn!!!” aku langsung memeluk Arin. Arin cuma bengong. “Heh! Dasar gila!! Kamu kenapa sih?? Pasti mimpiin aku ya? He he….”
“Iya, aku mimpiin kamu. Duh, ngeri sendiri aku….” “Mimpi apa sih, Din? Mimpi aku kawin sama Brad Pitt, Beckham, atau Orlando Bloom? He he he,” kata Arin kepedean.
“Yah, kalo itu sih aku juga mau! Bukan mimpi juga nggak pa-pa! Malah senang aku!” “Yaaa, trus mimpi apa dong?” tanya Arin penasaran.
“Euumm, kayaknya nggak perlu aku ceritain deh! Yang penting sekarang kamu ada di samping aku selamanya…. Dan yang lebih penting lagi, goodbye nightmare. He he!”
“Dasar orang gila!”

Penulis adalah pelajar SMAN 10 Surabaya.
No Responses

Leave a Reply

label: brainwave generator | brainwave entrainment| brain wave | binaural brainwave | brainwave mp3| binaural brainwave | brainwave music | brainwave meditation brainwave technology| brainwave mind voyages brainwaves | brainwaves| brainwave technology |
trik sulap | trik sulap gratis |sulap coin | koin |trik sulap kartu | sulap angka | sulap sederhana | rahasia sulap | trick sulap | cara sulap |trik hipnotis |trik sulap hipnotis
Archives

* ▼ 2009 (44)
o ► Oktober (1)
+ cerpen cinta
o ► September (4)
+ cerpen cinta
+ crpen cinta dari alisa
+ cerpen cinta paksam
+ cerpen cinta
o ▼ Agustus (7)
+ cerpen cinta, cinta lokasi
+ cerpen
+ cerpen cinta,ternyata bukan kenyataan
+ cerpen persahabatan Kado Empat Cewek
+ serpen cinta dan persahabatan
+ cerpen cinta, indahnya persahabatan
+ cerpen persahabatan
o ► Juli (32)
+ cerpen cinta semarga
+ cerpen cinta, dalam perjamuan cinta
+ cerpen cinta cara aakhi menyatakan cinta
+ cerpen, cinta di ujung jalan
+ cerpen cinta segi empat
+ cerpen cinta
+ cerpen cinta, luka di sini
+ cerpen cinta video
+ cerpen cinta yang aneh
+ cerpen cinta, cinta mati
+ cerpen cinta, janji fido
+ cerpen cinta dalam hati
+ cerpen cinta, cerpen asik lucu, cerpen menyentu…
+ cerpen betty and prince
+ cerpen asik lucu, daysou si penjelajah wahtu
+ cara kerja hipnotisinta pertama har
+ cerpen cinta, lelaki biasa
+ cerpen cinta, lelaki dan rindu
+ cerita cinta
+ cerpen cinta, tanpa kekasih
+ cerpen cnta, ghost of love
+ cerpen cinta, yang kita tahu
+ cerpen cinta,lelaki dan rindu
+ cerpen cinta, tanpa kekasih
+ cerpen cinta remaja, gita
+ cerpen cinta delima cinta
+ cerpen cinta, cinta hanya nafsu
+ cerpen, cinta puisi untuk fira
+ cerpen cinta pengertian
+ cerpen cinta after chat phoem
+ when i dream about you
+ cerpen cinta, genderuwo tidak bisa jatuh cinta?

Sebuah film yang bagus akan membuka peluang telaah dan kajian yang luas dan mendalam. Salah satu contohnya adalah Alangkah Lucunya (Negeri Ini) atau ALNI.

Film hasil kolaborasi penulis Musfar Yasin dan sutradara Deddy Mizwar ini bisa didekati dengan banyak kemungkinan: ideologi, politik, sosial, budaya, pendidikan, kriminalitas, generasi muda, dan agama. Isu pengangguran, kekerasan, dan semangat materialism juga disentil.

Bisa dibilang, film ini adalah perpanjangan ide anti-korupsi ‘Ketika’ dan semangat nasionalisme-religius ‘Nagabonar Jadi 2′. Walau ada satu plot utama–yaitu bagaimana Muluk (Reza Rahadian) dan kawan-kawannya bisa mengubah para pencopet cilik untuk tidak lagi mencopet dan beralih usaha yang halal dengan cara yang “revolusioner”—tetapi yang tidak kalah serunya adalah detail-detail minor seperti celetukan para bocah pencopet atau atmosfir sekitar.

Tengok bagaimana para calon besan (H Makbul/Deddy Miszwar dan H. Sarbini/Jaja Miharj) begitu prihatin dengan Muluk yang sudah 2 tahun menganggur. Tekanan-tekanan sosial seperti kewajiban bekerja dan menikah adalah hal lumrah di negeri ini. Pun dengan jutaan pengangguran dari berbagai level pendidikan. Karena itu, lantas muncul komentar satir: “Pendidikan itu penting. Karena berpendidikan, maka kita tahu bahwa pendidikan itu tidak penting!”

Atau tengok Jupri (Edwin ‘Bejo’) yang calon anggota DPR. Dengan norak, Jupri mendekati anak H. Sarbini yang cukup terpesona melihat screensaver akuarium di laptop baru calon pejabat itu. Atau bagaimana dia dilecehkan masyarakat saat membagi-bagikan kaos kampanyenya. Atau, bagaimana dengan nakal, para pencopet yunior itu diajak ke Gedung MPR, dan nyeletuk, “Mereka nyopetnya gimana ya?”.

Aroma kemiskinan, pengangguran, dan akhirnya mencari jalan pintas atau apatis juga hadir. Misalnya, Syamsul (Asrul Dahlan) yang hobi bermain gaple di pos ronda. Atau Pipit (Tika Bravani) yang senang mengikuti kuis di televisi dan undian berhadiah. Atau, sang ibu (Rina Hasyim) yang tidak punya pekerjaan selain mengisi TTS dan game watch.

Persoalan agama dan umatnya tentu kental di sini. Ada kelompok haji, seperti Makbul dan Sarbini, dipimpin Haji Rahmat (Slamet Rahardjo Djarot). Tindakan revolusioner, mengumpulkan 10% dari hasil copet untuk diputar dan ditabung, menimbulkan kontroversi, khususnya bagi para haji. Mereka tentu saja menolak uang haram. Konflik pun kian meruncing.

Tentu peran sutradara pendamping, Aria Kusumadewa, yang dekat dengan topik anak jalanan, juga penting. Durasi 105 menit tidak terasa karena mengalirnya cerita.

Di akhir film, muncul pernyataan keras yang menjadi jiwa film ini: “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”, bunyi pasal 34 UUD 1945.

Tetapi yang terkeras adalah pernyataan Syamsul di akhir cerita, yang berteriak-teriak membandingkan koruptor dengan pencopet amatir. Dan setelah itu, Jupri menghampirinya untuk memberinya kaos bergambar dirinya. Reaksi Syamsul sangat keras, dia berkata “kentut!”. Lewat adegan itu, seolah kita diajak berpikir, orang ini ingin jadi wakil rakyat untuk kepentingan pribadinya. Mengapa mereka tidak berupaya keras untuk mengentaskan banyak persoalan di negeri ini?”

Tercatat ada sembilan nama peraih piala citra yang berkolaborasi di sini: Slamet Rahardjo, Deddy Mizwar, Tio Pakusadewo, Rina Hassim, Aria Kusumadewa, Yudi Datau, Musfar Yasin dan Zairin Zain.

Terakhir mari kita renungkan adegan ini: kala pencopet dengan sukses mengadakan upacara bendera. Begitu lagu kebangsaan Indonesia Raya berhenti, “Hiduplah Indonesia Raya”…tiba-tiba yang paling kecil menyeletuk:”Amin!”, sembari menggerakkan tangannya mengusap wajah, layaknya berdoa.